INFOLADISHA – Pemerintah akhirnya memutuskan untuk tidak menaikkan cukai hasil tembakau pada tahun 2026.
Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, dan langsung menuai beragam respons, termasuk dari kalangan ekonom.
Salah satunya datang dari Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, yang menilai kebijakan tersebut sebagai langkah awal penyelamatan industri rokok nasional.
Menurutnya, kebijakan fiskal seperti cukai tembakau tidak bisa dilihat hanya dari satu sisi saja.
“Kalau bicara cukai hasil tembakau, kita tidak bisa hanya melihat dari sisi penerimaan negara atau kesehatan saja. Ada juga aspek ketenagakerjaan dan daya beli masyarakat yang harus dipertimbangkan,” ujar Wijayanto, Rabu (15/10/2025).
Ia menjelaskan, di tengah situasi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil, pemerintah perlu mencari titik tengah agar seluruh kepentingan tetap seimbang.
“Dalam kondisi yang jauh dari ideal, saya rasa perlu dipikirkan jalan tengah. Aspek kesehatan tetap diperhatikan, tapi fiskal dan tenaga kerja juga harus mendapat porsi yang adil,” lanjutnya.
Wijayanto juga mengusulkan agar sebagian dana dari cukai hasil tembakau dialokasikan langsung untuk sektor kesehatan, misalnya memperkuat subsidi BPJS Kesehatan atau membantu pengembangan rumah sakit di daerah.
“Cukai itu pada dasarnya dibuat untuk mengurangi efek negatif dari industri tertentu. Jadi kalau dialokasikan sebagian ke kesehatan, dampaknya akan lebih terasa langsung ke masyarakat,” tegasnya.
Namun, Wijayanto menekankan satu hal penting sebelum kebijakan tersebut bisa efektif dijalankan: industri rokok harus terkonsolidasi dan terbebas dari peredaran rokok ilegal.